Kehidupan  manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem  politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial,  senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan  kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat  dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih  dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan  penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja,  status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu  dan sebagainya. 
Setiap warga negara, dalam  kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik  praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya  dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik  politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar  informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi.  Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam  peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang  merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara  dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah  (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat,  pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam  semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan  mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara  terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain. 
Budaya  politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik  meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan  pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak  masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah. 
Kegiatan  politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial  secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik  dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian  sumber-sumber masyarakat.
B.           PENGERTIAN BUDAYA  POLITIK
1.      Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan  yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur  masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara  masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut  Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia  cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite  dengan kelompok massa. 
Almond dan Verba  mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas  warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan  sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan  kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju  tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka  menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri  mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi  yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta  mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut  ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan  sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
a.       Budaya  politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan,  adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian  besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan  rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan  norma lain.
b.      Budaya politik dapat dilihat  dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau  materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua  (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti  militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c.       Hakikat  dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip  dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan  masalah tujuan.
d.      Bentuk  budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup,  tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat.  Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan),  sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo  atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan  ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya  politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang  memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu.  Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa  dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan  cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang  demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik  hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara  keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual. 
1.      Pengertian Budaya Politik Menurut  Para Ahli
Terdapat  banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik,  sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita  ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat  perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam  satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan  pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
a.      Rusadi Sumintapura
Budaya politik  tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap  kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
b.      Sidney Verba
Budaya  politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol  ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan  politik dilakukan.
c.      Alan  R. Ball
Budaya politik adalah  suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan  nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan  isu-isu politik.
d.      Austin  Ranney
Budaya politik adalah  seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang  dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap  objek-objek politik.
e.      Gabriel  A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan  keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan  pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari  populasi.
Berdasarkan  beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para  ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya  politik sebagai berikut :
Pertama   : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan  aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan  pada berbagai perilaku non-aktual seperti   orientasi,  sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang  menyebabkan   Gabriel A. Almond  memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari    sebuah sistem politik yang juga memiliki  peranan penting berjalannya sebuah sistem   politik.
Kedua      :  hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik,  artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari  pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem  politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari  komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang  akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan  melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur  politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari  keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap  lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga       : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang  menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif  (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara  atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan  dengan  pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga  negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem  politik yang ideal.
1.      Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel  A. Almond dan G.  Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan  dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan  ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi  satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik  politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan  politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen  berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori  menjadi beberapa unsur.
Menurut  Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu  orientasi kognitif (cognitive orientations) dan  orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara  itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu  pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe  orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik  sebagai berikut.
Orientasi  kognitif      :  yaitu berupa pengetahuan  tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya  serta input dan outputnya.
Orientasi  afektif       : yaitu perasaan terhadap sistem politik,  peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif    :  yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara  tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan  perasaan.
C.           TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
1.      Berdasarkan  Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi  yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan  modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap  orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan  sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a.       Budaya Politik Militan
Budaya  politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari  alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan  menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing  hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan  masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b.      Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran  berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari  konsensus yang wajar yang mana  selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis  terhadap ide orang, tetapi  bukan curiga terhadap orang.
Jika  pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan,  maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan  konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama.  Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja  sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan.  Budaya Politik terbagi atas :
a.      Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki  nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi.  Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir  demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan  menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan).  Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis  terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian  tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut  terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b.      Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan  sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan  tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai  kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini. 
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap  perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru  dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus  dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan.  Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai  salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong  usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
1.      Berdasarkan  Orientasi Politiknya 
Realitas  yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa  variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan  karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan  memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam  tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki  karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam  masyarakat, Gabriel Almond  mengklasifikasikan  budaya politik sebagai berikut :
a.       Budaya politik parokial (parochial  political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat  rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan  relatif rendah).
b.      Budaya politik kaula (subyek  political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju  (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c.       Budaya politik partisipan (participant  political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan  kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan  bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga  klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di  dalam masyarakat lebih lanjut adalah sebagai berikut.
| No | Budaya   Politik | Uraian   / Keterangan | 
| 1. | Parokial | a.          Frekuensi orientasi terhadap   sistem  sebagai obyek umum, obyek-obyek input,   obyek-obyek output, dan pribadi   sebagai partisipan aktif mendekati  nol. b.        Tidak  terdapat peran-peran politik   yang khusus dalam masyarakat. c.         Orientasi  parokial menyatakan   alpanya harapan-harapan akan perubahan yang  komparatif yang diinisiasikan   oleh sistem politik. d.        Kaum  parokial tidak mengharapkan   apapun dari sistem politik. e.         Parokialisme  murni berlangsung   dalam sistem tradisional yang lebih sederhana  dimana spesialisasi politik   berada pada jenjang sangat minim. f.          Parokialisme  dalam sistem politik   yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan  normatif dari pada kognitif. | 
| 2. | Subyek/Kaula | a.          Terdapat frekuensi orientasi politik    yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek  output dari   sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap  obyek-obyek input secara   khusus, dan terhadap pribadi sebagai  partisipan yang aktif mendekati nol.  b.        Para  subyek menyadari akan   otoritas pemerintah c.         Hubungannya  terhadap sistem plitik   secara umum, dan terhadap output,  administratif secara esensial merupakan   hubungan yang pasif. d.        Sering  wujud di dalam masyarakat   di mana tidak terdapat struktur input    yang terdiferensiansikan. e.         Orientasi  subyek lebih bersifat   afektif dan normatif daripada kognitif. | 
| 3. | Partisipan | a.          Frekuensi orientasi politik sistem    sebagai obyek umum, obyek-obyek input,   output,  dan pribadi sebagai   partisipan aktif mendekati satu. b.        Bentuk  kultur dimana   anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan  secara eksplisit terhadap   sistem politik secara komprehensif dan  terhadap struktur dan proses politik   serta administratif (aspek input   dan output sistem politik) c.         Anggota  masyarakat partisipatif   terhadap obyek politik  d.        Masyarakat  berperan sebagai   aktivis. | 
Kondisi masyarakat dalam budaya politik  partisipan  mengerti bahwa mereka berstatus  warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka  memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk  mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat  mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan  memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok  protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang  ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya  harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan  oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara  politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena  mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh  warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam  proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik.  Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam  masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust)  antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya  ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih  rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam  tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara  dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan  mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita-berita  politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan  perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa  tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat  dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak  aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka  telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga  memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah,  sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi,  agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan  tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat  bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu  negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan  lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut.  Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem  politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang  membicarakan masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa  masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi  dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik  otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi  politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun  demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat  institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik  ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum  maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang  memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek.  Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut,  ketiganya menurut Almond dan Verba  tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a.       Budaya  politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b.      Budaya  politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c.       Budaya  politik parokial-partisipan (the parochial-participant  culture)
Berdasarkan  penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas, dapat dibagi  dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :
| Model-Model Kebudayaan Politik | ||
| Demokratik Industrial | Sistem Otoriter | Demokratis Pra Industrial | 
| Dalam sistem ini cukup banyak aktivis  politik untuk menjamin   adanya kompetisi  partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian suara yang besar. | Di  sini jumlah   industrial dan modernis sebagian kecil,   meskipun terdapat organisasi  politik dan partisipan politik seperti   mahasiswa, kaum in-telektual dengan   tindakan  persuasif menentang sis-tem yang ada, tetapi seba-gian besar jumlah rakyat hanya  menjadi   subyek yang pasif. | Dalam sistem ini hanya  terdapat sedikit sekali parti-sipan dan sedikit   pula keter-libatannya  dalam peme-rintahan | 
Pola  kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas  atau mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia,  pemerintah diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa,  konformitas menyangkut tuntutan atau harapan akan dukungan dari rakyat. Modifikasi  atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa  dirinya penting, maka dia menuntut rakyat menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan  tetapi, ada pula elite yang menyadari inisiatif rakyat yang menentukan tingkat  pembangunan, maka elite itu sedang mengembangkan pola  kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai  kepasifan yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai budaya politik bersifat agama  politik, yaitu politik dikembangkan  berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung mengatur secara ketat setiap  anggota masyarakat. Budaya  tersebut merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam masyarakat  tradisional di negara yang baru berkembang.
David  Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang  menimbulkan suatu agama politik di suatu masyarakat,  yaitu kondisi politik yang terlalu sentralistis dengan peranan  birokrasi atau militer yang terlalu kuat. Budaya politik para elite  berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat mendorong atau  menghambat pembangunan karena massa rakyat harus  menyesuaikan diri pada kebijaksanaan para elite politik.
D.    SOSIALISASI PENGEMBANGAN BUDAYA  POLITIK
1.      Pengertian Umum 
Sosialisasi  Politik, merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik  yang berlaku di negara-negara manapun juga baik yang menganut sistem  politik demokratis, otoriter, diktator dan sebagainya. Sosialisasi  politik, merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat. 
Keterlaksanaan sosialisasi politik, sangat  ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang/individu berada. Selain  itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadian seseorang.  Sosialsiasi politik, merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan  dari usaha saling mempengaruhi di antara kepribadian individu dengan  pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberi bentuk terhadap tingkah laku  politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang  diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan  politik. Tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.
Jadi, sosialisasi politik  adalah proses dengan mana individu-individu dapat memperoleh  pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya.  Peristiwa ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya,  sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab hal ini bisa saja  menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah  akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada  keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila  tidak ada legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif  terhadap sistem  politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila  legitimasi itu dibarengi dengan  sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang  dihasilkan stagnasi
1.      Pengertian Menurut Para ahli 
Berbagai  pengertian atau batasan mengenai sosialisasi politik telah banyak  dilakukan oleh para ilmuwan terkemuka. Sama halnya dengan  pengertian-pengertian tentang budaya politik, sistem politik dan  seterusnya, meskipun diantara para ahli politik terdapat perbedaan,  namun pada umumnya tetap pada prinsip-prinsip dan koridor yang sama.  Berikut ini akan dikemukana beberapa pengertian sosialisasi politik  menurut para ahli.
- David F.  Aberle, dalam “Culture and Socialization” 
Sosialisasi  politik adalah pola-pola mengenai aksi sosial, atau aspek-aspek tingkah  laku, yang menanamkan pada individu-individu keterampilan-keterampilan  (termasuk ilmu pengetahuan), motif-motif dan sikap-sikap yang perlu  untuk menampilkan peranan-peranan yang sekarang atau yang tengah  diantisipasikan (dan yang terus berkelanjutan) sepanjang kehidupan  manusia normal, sejauh peranan-peranan baru masih harus terus  dipelajari.
- Gabriel A.  Almond 
Sosialisasi politik menunjukkan  pada proses dimana sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku  politik diperoleh atau dibentuk, dan juga merupakan sarana bagi suatu  generasi untuk menyampaikan patokan-patokan politik dan  keyakinan-keyakinan politik kepada generasi berikutnya.
- Irvin L. Child 
Sosialisasi  politik adalah segenap proses dengan mana individu, yang dilahirkan  dengan banyak sekali jajaran potensi tingkah laku, dituntut untuk  mengembangkan tingkah laku aktualnya yang dibatasi di dalam satu jajaran  yang menjadi kebiasaannya dan bisa diterima olehnya sesuai dengan  standar-standar dari kelompoknya.
- Richard E. Dawson dkk. 
Sosialisasi  politik dapat dipandang sebagai suatu pewarisan pengetahuan, nilai-nilai  dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru,  dan  sarana-sarana sosialisasi yang lainnya kepada warga negara baru dan  mereka yang menginjak dewasa.
- S.N. Eisentadt, dalam From Generation to Ganeration 
Sosialisasi  politik adalah komunikasi dengan dan dipelajari oleh manusia lain,  dengan siapa individu-individu yang secara bertahap memasuki beberapa  jenis relasi-relasi umum. Oleh Mochtar Mas’oed disebut dengan transmisi kebudayaan.
- Denis Kavanagh
Sosialisasi politik merupakan  suatu proses dimana seseorang mempelajari dan menumbuhkan pandangannya  tentang politik.
- Alfian
Mengartikan pendidikan politik  sebagai usaha sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik  masyarakat, sehingga mereka mengalami dan menghayati betul nilai-nilai  yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak  dibangun. Hasil dari penghayatan itu akan melahirkan sikap dan perilaku  politik baru yang mendukung sistem politik yang ideal tersebut, dan  bersamaan dengan itu lahir pulalah kebudayaan politik baru. Dari  pandangan Alfian, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni: 
pertama  : sosialisasi politik hendaknya  dilihat sebagai suatu proses yang berjalan terus-menerus selama peserta  itu hidup.
Kedua      : sosialisasi politik dapat  berwujud transmisi yang berupa pengajaran secara langsung dengan  melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan  mengenai politik secara tegas. Proses mana berlangsung dalam keluarga,  sekolah, kelompok pergaulan, kelompok kerja, media massa, atau kontak  politik langsung.
Dari  sekian banyak definisi ini nampak mempunyai banyak kesamaan dalam  mengetengah-kan beberapa segi penting sosialisasi politik, sebagai  berikut. 
- Sosialisasi  secara fundamental merupakan proses      hasil belajar, belajar dari  pengalaman/ pola-pola aksi.
- memberikan indikasi umum hasil  belajar tingkah laku      individu dan kelompok dalam batas-batas yang  luas, dan lebih khusus lagi,      berkenaan pengetahuan atau informasi,  motif-motif (nilai-nilai) dan      sikap-sikap.
- sosialisasi itu tidak perlu  dibatasi pada usia      anak-anak dan remaja saja (walaupun periode ini  paling penting), tetapi sosialisasi      berlangsung sepanjang hidup.
- bahwa sosialisasi merupakan  prakondisi yang      diperlukan bagi aktivitas sosial, dan baik secara  implisit maupun      eksplisit memberikan penjelasan mengenai tingkah  laku sosial.
Dari sekian banyak pendapat di  atas, menurut Michael Rush & Phillip  Althoff, ada dua masalah yang berasosiasi dengan definisi-definisi  tersebut di atas. 
Pertama   :  seluas manakah sosialisasi itu  merupakan proses pelestarian yang sistematis? Hal ini penting sekali  untuk menguji hubungan antara sosialisasi dan perubahan sosial; atau  istilah kaum fungsionalis, sebagai pemeliharaan sistem. Dalam kenyataan  tidak ada alasan sama sekali untuk menyatakan mengapa suatu teori  mengenai sosialisasi politik itu tidak mampu memperhitungkan: ada atau  tidaknya perubahan sistematik dan perubahan sosial; menyediakan satu  teori yang memungkin pencantuman dua variabel penting, dan tidak  membatasi diri dengan segala sesuatu yang telah dipelajari, dengan siapa  yang diajar, siapa yang mengajar dan hasil-hasil apa yang diperoleh.  Dua variabel penting adalah pengalaman dan kepribadian  dan kemudian akan dibuktikan bahwa kedua-duanya, pengalaman dan  kepribadian individu, lebih-lebih lagi pengalaman dan kepribadian  kelompok-kelompok individu- adalah fundamental bagi proses sosialisasi  dan bagi proses perubahan.
Kedua      : adalah berkaitan dengan keluasan, yang mencakup tingkah  laku, baik yang terbuka maupun yang tertutup, yang diakses yang  dipelajari dan juga bahwa berupa instruksi. Instruksi merupakan bagian  penting dari sosialisasi, tidak perlu disangsikan, orang tua bisa  mengajarkan kepada anak-anaknya beberapa cara tingkah laku sosial  tertentu; sistem-sistem pendidikan kemasyarakatan, dapat memasukkan  sejumlah ketentuan mengenai pendidikan kewarganegaraan; negara bisa  secara berhati-hati menyebarkan ideologi-ideologi resminya. Akan tetapi  tidak bisa terlalu ditekankan, bahwa satu bagian besar bahkan sebagian  terbesar sosialisasi, merupakan hasil eksperimen; karena semua itu  berlangsung secara tidak sadar, tertutup, tidak bisa diakui dan tidak  bisa dkenali.
Istilah-istilah seperti “menanamkan” dan sampai batas kecil tertentu “menuntun  pada perkembangan” kedua-duanya cenderung mengaburkan segi penting  dari sosialisasi. Maka Michael Oakeshott menyatakan; “Pendidikan politik dimulai dari keminkamtaan meminati tradisi  dalam bentuk pengamatan dan peniruan terhadap tingkah laku orang tua  kita, dan sedikit sekali atau bahkan tidak ada satupun di dunia ini yang  tampak di depan mat akita tanpa memberikan kontribusi terhadapnya. Kita  menyadari akan masa lampau dan masa yang akan datang, secepat kesadaran  kita terhadap masa sekarang.”
Jadi,  walaupun kenyataan bahwa sosialisasi itu sebagian bersifat terbuka,  sistematik dan disengaja, namun secar atotal adalah tidak realistis  untuk berasumsi bahwa makna setiap pengalaman harus diakui oleh  pelakunya, atau oleh yang melakukan tindakan yang menyangkut pengalaman  tersebut.
Kiranya kita dapat memahami  bahwa sosialisasi politik adalah proses, dengan mana individu-individu  dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai dan sikap-sikap terhadap  sistem politik masyarakatnya. Peristiwa ini tidak menjamin bahwa  masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin  terjadi. Sebab hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap  legitimasi; akan tetapi apakah hal ini menuju pada stagnasi atau pada  perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran  tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan sikap  bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin  saja terjadi, akan tetapi apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap  apatis terhadap sistem politiknya, bukan tidakmungkin terjadi stagnasi.
2.     Proses Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa  kanak-kanak atau remaja. Hasil riset David  Easton dan Robert Hess mengemukakan  bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia  tiga tahun dan menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih  awal dari belajar politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan  lingkungan,, seperti "keterikatan kepada  sekolah-sekolah mereka", bahwa mereka berdiam di suatu daerah  tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan negerinva, kebaikan  serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti oleh simbol-simbol  otoritas umum,  seperti agen polisi, presiden, dan bendera nasional. Pada usia sembilan  dan sepuluh tahun timbul kesadaran  akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi,  kebebasan sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.
Peranan  keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess, anak-anak mempunyai gambaran yang sama  mengenai ayahnya dan presiden selama bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap  sebagai tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan ada 4 (empat) tahap dalam  proses sosialisasi politik dari anak,  yaitu sebagai berikut.
- Pengenalan  otoritas melalui      individu tertentu, seperti orang tua anak, presiden       dan       polisi.
- Perkembangan  pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal,      yaitu antara pejabat swasta dan      pejabat  pemerintah.
- Pengenalan mengenai  institusi-institusi      politik yang impersonal, seperti kongres (parlemen), mahkamah       agung, dan pemungutan suara (pemilu).
- Perkembangan  pembedaan antara      institusi-institusi politik dan mereka yang terlibat       dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan institusi-institusi ini.
Suatu penelitian secara  khusus telah dilakukan guna menyelidiki nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan  oleh berbagai generasi orang tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
- Tradisi; terutama  agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi  pada umumnya
- Prestasi;       ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran       material mobilitas sosial.
- Pribadi; kejujuran,  ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
- Penyesuaian diri; bergaul  dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan, menjaga keamanan  dan ketentraman.
- Intelektual; belajar  dan pengetahuan sebagai tujuan.
- Politik;       sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan       dengan pemerintahan.
Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan  untuk menggambarkan proses dengan jalan mana orang belajar tentang  politik dan mengembangkan orientasi pada politik.  Adapun  sarana alat yang  dapat dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik,  antara lain : 
1)   Keluarga  (family)
Wadah penanaman (sosialisasi)  nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah di dalam  keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan anak,  sering terjadi “obrolan”  politik  ringan tentang segala hal, sehingga tanpa disadari terjadi tranfer  pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak. 
2)     Sekolah
Di sekolah  melalui pelajaran civics education (pendidikan  kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan  berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung  nilai-nilai politik teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa  telah memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara  dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis.
3)     Partai Politik 
Salah satu  fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai  sosialisasi politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah  merekrut anggota kader maupun simpati-sannya secara periodik maupun pada  saat kampanye, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu  generasi ke generasi berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan  “image” memperjuangkan kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas  dari masyarakat dan senantiasa dapat memenangkan pemilu.
Khusus  pada masyarakat primitif,  proses sosialisasi  terdapat banyak perbedaan. Menurut Robert Le Vine yang telah menyelidiki sosialisasi di kalangan dua suku bangsa  di Kenya Barat Daya: kedua  suku bangsa tersebut merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan sifatnya patriarkis. Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama  dan ditandai ciri  karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku Neuer pada dasarnya bersifat egaliter (percaya  semua orang sama derajatnya) dan pasif, sedangkan suku Gusii bersifat  otoriter dan agresif. Anak dari masing-masing suku didorong dalam menghayati  tradisi mereka masing-masing.
4.     Sosialisasi Politik dalam Masyarakat Berkembang
Masalah  sentral sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah menyangkut perubahan. Hal ini dilukiskan dengan  jelas oleh contoh negara Turki, di mana satu usaha yang sistematis telah  dilakukan untuk mempengaruhi maupun untuk mempermudah mencocokkan perubahan yang  berlangsung sesudah Perang Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal Ataturk) berusaha untuk  memodernisasi Turki, tidak  hanya secara material, tetapi juga melalui proses-proses sosialisasi.  Contoh yang sama dapat juga  dilihat pada negara Ghana. 
Menurut Robert Le Vine, terdapat 3  (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi politik pada  masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :
- Pertumbuhan  penduduk di      negara-negara berkembang dapat melampaui kapasitas       mereka untuk "memodernisasi" keluarga tradisonal lewat industrialisasi dan       pendidikan.
- Sering  terdapat perbedaan yang      besar dalam pendidikan dan nilai-nilai tradisional       antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita lebih erat  terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan  satu peranan      penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
- Adalah  mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap sebagai satu kekuatan  perkasa untuk      menumbangkan nilai-nilai tradisional. Paling sedikitnya       secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari nilai-nilai ke  dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan pembentukan  komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
5.     Sosialisasi Politik dan Perubahan
Sifat sosialisasi politik yang bervariasi menurut  waktu serta yang selalu menyesuaikan dengan lingkungan  yang memberinya kontribusi, berkaitan dengan sifat dari pemerintahan dan derajat  serta sifat dari perubahan. Semakin stabil pemerintahan, semakin terperinci  agensi-agensi utama dari sosialisasi politik Sebaliknya, semakin besar derajat  perubahan dalam satu pemerintahan non totaliter, akan semakin tersebarlah agensi-agensi  utama dari sosialisasi politik. Semakin totaliter sifat perubahan politik, semakin kecil  jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik itu.
Dalam The Civic Culture, Almond  dan Verba mengemukakan  hasil survei silang nasional (cross-national) mengenai  kebudayaan politik. Penelitian mereka menyimpulkan  bahwa masing-masing kelima negara yang ditelitinya, Amerika Serikat,  Inggris, Jerman, Italia, dan Meksiko, mempunyai kebudayaan  politik tersendiri. Amerika dan Inggris dicirikan oleh penerimaan secara  umum terhadap sistem politik, oleh suatu tingkatan  partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang  meluas di kalangan  para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa sampai pada satu taraf tertentu. 
Tekanan lebih besar diletakkan orang-orang Amerika pada  masalah partisipasi, sedangkan orang Inggris memperlihatkan rasa hormat  yang lebih besar terhadap pemerintahan mereka. Kebudayaan politik  dari Jerman ditandai oleh satu derajat sikap yang tidak  terpengaruh oleh sistem dan sikap yang lebih pasif terhadap  partisipasinya. Meskipun demikian, para respondennya merasa mampu untuk mempengaruhi  peristiwa-peristiwa tersebut. Sedangkan  di Meksiko merupakan bentuk campuran antara penerimaan terhadap teori  politik dan keterasingan dari substansinya.
Suatu faktor kunci di  dalam konsep kebudayaan politik adalah legitimasi,  sejauh mana suatu sistem politik dapat diterima oleh  masyarakat. Legitimasi itu dapat meluas sampai pada banyak aspek  dari sistem politik atau dapat dibatasi dalam beberapa aspek.  Seperti di Amerika Serikat, kebanyakan orang Amerika menerima lembaga  presiden, kongres, dan MA, tetapi penggunaan hak-hak dari lembaga  tersebut selalu mendapat kritik dari masyarakat.
6.     Sosialisasi Politik dan Komunikasi  Politik
Sosialisasi  politik, menurut Hyman merupakan suatu proses belajar  yang kontinyu yang melibatkan baik belajar secara emosional (emotional  learning) maupun indoktrinasi politik yang manifes (nyata) dan  dimediai (sarana komunikasi) oleh segala partisipasi dan pengalaman si  individu yang menjalaninya. Rumusan ini menunjukkan betapa besar peranan  komunikasi politik dalam proses sosialisasi politik di tengah warga  suatu masyarakat. Tidak salah jika dikemukakan bahwa segala aktivitas  komunikasi politik berfungsi pula sebagai suatu proses sosialisasi bagi  anggota masyarakat yang terlibat baik secara langsung maupun tidak  langsung dalam aktivitas komunikasi politik tersebut.
Dalam suatu sistem politik negara,  fungsi sosialisasi menunjukkan bahwa semua sistem politik cenderung  berusaha mengekalkan kultur dan struktur mereka sepanjang waktu. Hal ini  dilakukan terutama melalui cara pengaruh struktur-struktur primer dan  sekunder yang dilalaui oleh anggota muda masyarakat dalam proses  pendewasaan mereka. Menurut G. A. Almond, kata  “terutama” sengaja digunakan karena dalam sosialisasi politik – seperti  halnya belajar dalam pengertian yang umum – tidak berhenti pada titik  pendewasaan itu sendiri, terlepas dari bagaimanapun batasannya pada  masyarakat yang berbeda-beda.
Di dalam realitas kehidupan  masyarakat, pola-pola sosialisasi politik juga mengalami perubahan  seperti juga berubahnya struktur dan kultur politik. Perubahan-perubahan  tersebut menyangkut pula soal perbedaan tingkat keterlibatan dan  derajat perubahan dalam sub sistem masyarakat yang beraneka ragam.
Pada sisi lain, sosialisasi politik  merupakan proses induksi ke dalam suatu kultur politik yang dimiliki  oleh sistem politik yang dimaksud. Hasil akhir proses ini adalah  seperangkat sikap mental, kognisi (pengetahuan), standar nilai-nilai dan  perasaan-perasaan terhadap sistem politik dan aneka perannya serta  peran yang berlaku. Hasil proses tersebut juga mencakup pengetahuan  tentang nilai-nilai yang mempengaruhi, serta perasaan mengenai masukan  tentang tuntutan dan claim terhadap sistem, dan output otorotatif-nya. 
Berikut adalah bagan terbentuknya sikap politik (political attitude) melalui proses sosialisasi politik.
|  | 
Dalam proses  sosialisasi politik kaitannya dengan fungsi komunikasi politik,  berhubungan dengan struktur-struktur yang terlibat dalam sosialisasi  serta gaya sosialisasi itu sendiri. Pada sistem politik masyarakat  modern, institusi seperti kelompok sebaya, komuniti, sekolah, kelompok  kerja, perkumpulan-perkumpulan sukarela, media komunikasi, partai-partai  politik dan institusi pemerintah semuanya dapat berperan dalam  sosialisasi politik. Kemudian perkumpulan-perkumpulan, relasi-relasi dan  partisipasi dalam kehidupan kaum dewasa melanjutkan proses tersebut  untuk seterusnya.
Almond, mengatakan  bahwa sosialisasi politik bisa bersifat nyata (manifes)  dan bisa pula tidak nyata (laten).
| Sosialisasi   Politik Manifes | Sosialisasi   Politik Laten | 
| Berlangsung dalam bentuk transmisi  informasi,   nilai-nilai atau perasaan terhadap peran, input dan output  sistem politik. | Dalam bentuk  transmisi informasi, nilai-nilai   atau perasaan terhadap peran, input  dan output mengenai sistem sosial yang   lain seperti keluarga yang  mempengaruhi sikap terhadap peran, input dan   output sistem politik  yang analog (adanya persamaan). | 
Dalam suatu bangsa yang majemuk dan besar seperti  Indonesia, India, Cina dan sebagainya, informasi yang diterima oleh  aneka unsur masyarakat akan berlainan karena faktor geografis baik yang  di kota maupun di desa. Pada sebagian besar negara berkembang, pengaruh  media masa (radio, surat kabar dan televisi) di pedesaan sangat  terbatas. Oleh karena itu, pengaruh struktur-struktur sosial tradisional  dalam menterjemahkan informasi yang menjangkau wilayah tersebut amatlah  besar. Heterogenitas informasi ini memperkuat perbedaan orientasi dan  sikap (attitude) diantara kelompok-kelompok yang  mengalami sosialisasi primer yang amat berbeda dari kelompok ataupun  teman sebaya.
Berbeda  dengan negara yang sudah maju seperti Amerika, Inggris, Jerman dan  sebagainya arus informasi relatif homogen. Para elite politik  pemerintahan mungkin mempunyai sumber-sumber informasi khusus melalui  badan-badan birokrasi tertentu, surat kabar tertentu yang ditujukan pada  kelompok kelas atau politik tertentu. Dengan demikian, semua kelompok  masyarakat mempunyai akses ke suatu arus informasi dan media massa yang  relatif homogen dan otonom sehingga hambatan-hambatan bahasa atau  orientasi kultural sangat minim. Masyarakat dapat melakukan kontrol  terhadap para elite politik dan sebaliknya kaum elite-pun dapat segera  mengetahui tuntutan masyarakat dan konsekuensi dari segala macam  tindakan pemerintah.
A.    E. PERAN SERTA  BUDAYA POLITIK PARTISIPAN
1.      Pengertian Partisipasi Politik
Pembahasan tentang budaya politik tidak terlepas  dari partisipasi politik warga negara. Partisipasi politik pada dasarnya  merupakan bagian dari budaya politik, karena keberadaan  struktur-struktur politik di dalam masyarakat, seperti partai politik,  kelompok kepentingan, kelompok penekan dan media masa yang kritis dan  aktif. Hal ini merupakan satu indikator adanya keterlibatan rakyat dalam  kehidupan politik (partisipan).
Bagi  sebagian kalangan, sebenarnya keterlibatan rakyat dalam proses politik,  bukan sekedar pada tataran formulasi bagi keputusan-keputusan yang  dikeluarkan pemerintah atau berupa kebijakan politik, tetapi terlibat  juga dalam implementasinya yaitu ikut mengawasi dan  mengevaluasi  implementasi kebijakan tersebut.
a.       Modernisasi  dalam segala bidang kehidupan yang menyebabkan masyarakat makin banyak  menuntut untuk ikut dalam kekuasaan politik.
b.      Perubahan-perubahan  struktur kelas sosial. Masalah siapa yang berhak berpartisipasi dan  pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan  dalam pola partisipasi politik.
c.       Pengaruh kaum  intelektual dan kemunikasi masa modern. Ide demokratisasi partisipasi  telah menyebar ke bangsa-bangsa baru sebelum mereka mengembangkan  modernisasi dan industrialisasi yang cukup matang.
d.      Konflik antar  kelompok pemimpin politik, jika timbul konflik antar elite, maka yang  dicari adalah dukungan rakyat. Terjadi perjuangan kelas menentang  melawan kaum aristokrat yang menarik kaum buruh dan membantu memperluas  hak pilih rakyat.
e.       Keterlibatan  pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan kebudayaan.  Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah sering merangsang timbulnya  tuntutan-tuntutan yang terorganisasi akan kesempatan untuk ikut serta  dalam pembuatan keputusan politik.
2.     Konsep Partisipasi Politik
Dalam  ilmu politik, dikenal adanya konsep partisipasi politik untuk memberi  gambaran apa dan bagaimana tentang partisipasi politik. Dalam  perkembangannya, masalah partisipasi politik menjadi begitu penting,  terutama saat mengemukanya tradisi pendekatan behavioral (perilaku)  dan Post Behavioral (pasca tingkah laku). Kajian-kajian  partisipasi politik terutama banyak dilakukan di negara-negara  berkembang, yang pada umumnya kondisi partisipasi politiknya masih dalam  tahap pertumbuhan.
Dalam  ilmu politik sebenarnya apa yang dimaksud dengan konsep partisipasi  politik ? siapa saja yang terlibat ? apa implikasinya ? bagaimana bentuk  praktik-praktiknya partisipasi politik ? apakah ada tingkatan-tingkatan  dalam partisipasi politik ? beberapa pertanyaan ini merupakan hal-hal  mendasar yang harus dijawab untuk mendapat kejelasan tentang konsep  partisipasi politik.
Hal  pertama yang harus dijawab berkenaan dengan kejelasan konsep  partisipasi politik. Beberapa sarjana yang secara khusus berkecimpung  dalam ilmu politik, merumuskan beberapa konsep partisipasi politik, yang  disampaikan dalam tabel berikut :
| Sarjana | Konsep | Indikator | 
| Kevin R. Hardwick | Partisipasi politik memberi    perhatian pada cara-cara warga negara berinteraksi dengan pemerintah,  warga   negara berupaya menyampaikan kepentingan-kepentingan mereka  terhadap   pejabat-pejabat publik agar mampu mewujudkan  kepentingan-kepentingan   tersebut. | ·       Terdapat  interaksi antara warga   negara dengan pemerintah ·       Terdapat  usaha warga negara untuk   mempengaruhi pejabat publik. | 
| Miriam Budiardjo | Partisipasi politik adalah    kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif  dalam   kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan  secara langsung   atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). | ·       Berupa  kegiatan individu atau   kelompok ·       Bertujuan  ikut aktif dalam ke-hidupan   politik, memilih pim-pinan publik atau  mempenga-ruhi kebijakan publik. | 
| Ramlan  Surbakti | Partisipasi politik ialah   keikutsertaan warga negara biasa  dalam menentukan segala keputusan menyangkut   atau mempengaruhi  hidupnya. Partisipasi politik berarti    keikutsertaan warga negara biasa (yang tidak mempunyai kewenangan) dalam  mempengaruhi   proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. | ·       Keikutsertaan  warga negara dalam   pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik ·       Dilakukan  oleh warga negara biasa | 
| Michael Rush  dan Philip Althoft | Partisipasi politik adalah    keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam  sistem   politik. | ·        | 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar