Anis berlari mengendap-endap kedalam kelas. Sekolah masih sepi, belum 
seorang pun siswa datang. Seperti kemarin juga, kemarinnya lagi Anis 
meletakkan segelas air putih ke meja ibu guru, setelah itu ia kembali 
berlari keluar. Anis kembali ke warung kecil ibunya yang terletak 
dibelakang sekolah.
"Kau dari mana, Nak?" Tanya ibunya ketika Anis tiba.
"Mmm.. Anis dari kelas sebentar" Jawab Anis sambil kembali melanjutkan 
pekerjaannya yang tadi tertunda.
Sebelum sekolah, Anis memang terbiasa membantu ibunya menyiapkan 
dagangan di warung kecil mereka.
Waktu terus berlalu bel tanda masuk berdentang beberapa kali. Anis 
segera bergegas ke kelasnya. Ada yang selalu ia tunggu setiap kali 
mengikuti pelajaran dari Ibu Arin. Ya, Bu Arin itu gurunya. Bukan hanya 
pelajaran yang ia nantikan, tapi juga saat Bu Arin meneguk air putih 
yang selalu ia sediakan setiap pagi. Hatinya begitu bahagia walaupun Bu 
Arin tidak pernah tau siapa yang menyediakan air minum itu.
Seperti biasa, pagi ini Bu Arin masuk kelas dengan senyumnya yang ramah.
 Beliau menyapa seluruh anak kelas V dengan hangat. Lalu Bu Arin kembali
 menerangkan pelajaran dengan gayanya yang menarik. Di bangku paling 
belakang, Anis mengikuti pelajaran dengan penuh perhatian. Hati Anis 
berdebar-debar cemas, jam pelajaran hampir saja selesai tetapi Bu Arin 
tidak juga meminum air putih yang ia hidangkan. Perlahan-lahan hati Anis
 dirasuki perasaan kecewa dan sedih.
Biasanya Bu Arin tidak seperti ini. Beliau biasanya meneguk minuman itu 
dengan semangat, lalu bibirnya tersenyum kepada seluruh penghuni kelas. 
Tapi hari ini tidak, jangan-jangan Bu Aris sudah tidak mau lagi minum 
air itu. Atau? Ya atau Bu Aris sudah tau siapa yang menyediakan minuman 
itu, lalu Bu Arin merasa jijik karena air minum itu disediakan seorang 
murid miskin seperti Anis. Berbagai pikiran terus berkecamuk di kepala 
Anis, hatinya makin sedih.
"Teng! Teng! Teng!" Bel tanda istirahat berdentang. Bu Arin menyudahi 
pelajarannya. Lalu anak-anak berhambur keluar. Anis berjalan lunglai. 
Hatinya benar-benar sekali sedih, karena sampai pelajaran berakhir Bu 
Anis tidak menyentuh air minum itu.
"Anis...!" Tiba-tiba suara Bu Arin menghentikan langkah lesu Anis. 
"Boleh ibu bicara sebentar?" Jantung Anis tiba-tiba berdegup kencang. 
Jangan-jangan Bu Arin tau siapa yang selalu menyiapkan air putih dan 
beliau tidak senang dengan hal itu. Mungkin Bu Arin akan memarahinya. 
Hati Anis kembali bergedup kencang.
"Kenapa Nis, keberatan kalau ibu ingin berbicara denganmu?"
"Ee.. mmm... ti...ti..tidak Bu" Perlahan Anis duduk di bangku yang 
berada didepan meja Bu Arin.
"Nis.. Kenapa ya hari ini kamu kelihatan begitu sedih dan tidak 
semangat?" Tanya Bu Arin.
(Anis tergugup)
"Biasanya kamu begitu riang dan sangat bersemangat kalau pelajaran ibu?,
 Kamu sedih ya karena hari ini Ibu tidak meminum air putihmu?"
(Anis tersentak dan wajahnya tiba-tiba pucat) "Ja... Jadi ibu tau kalau 
air itu..?" Anis tergagap-gagap.
"Iya Nis, ibu tau dari sikapmu. Selama ini ibu selalau bertanya-tanya, 
siapa ya yang selalu menyiapkan air putih dimeja ibu.. Lalu ibu 
perhatikan, jika ibu minum air itu kamu selalu kelihatan paling gembira.
 Nah, lalu hari ini sengaja ibu tidak meminum air ini untuk membuktikan 
dugaan ibu itu benar".
"Nah, ternyata benar lho, kamu sangat bersedih ketika ibu tidak 
meminumnya. Berarti kamu kan yang selalu menyiapkan air minum itu?"
"Maafkan saya Bu, saya tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin 
berterimakasih kepada ibu, karena ibu telah mengajari saya. Tapi saya 
tidak tau harus berbuat apa. Saya juga tidak punya apa-apa bu untuk 
dihadiahkan, seperti apa yang sering diberikan teman-teman. Saya hanya 
bisa menyiapkan air minum itu, yang lain tidak Bu, agar ketika ibu 
mengajar sudah mengajar ibu pasti merasa haus, Ibu tinggal minum saja. 
Tapi jika ibu tidak suka, saya tidak akan menyiapkan air minum lagi" 
Suara Anis terdendat-sendat.
"Kenapa ibu tidak suka Nis? Kamu ini ada-ada saja"
"Iya, karena Anis orang miskin, mungkin ibu jijik minum air yang saya 
sediakan" Air mata Anis mulai meluncur.
"A..nis.." Bu Arin mendekati Anis lalu mengelus kepala Anis. "Ibu tidak 
merasa jijik kok, justru ibu sangat bangga memiliki murid seperti kamu. 
Kamu anak yang tau berterimakasih. Ibu sangat senang! Ibu berjanji akan 
meminum air itu setiap hari"
"Haa? Benar Bu? Benar ya Bu?" Anis menatap tak pecaya, Bu Arin 
mengangguk.
Tanpa sadar Anis menghambur kedalam pelukan Bu Arin. Air mata Anis 
menetes, kali ini ia benar-benar bahagia. Anis merasakan betapa 
hangatnya berada dekapan gurunya yang sangat dicintainya.
